Selasa, 24 Februari 2009

MEMAKNAI SUARA RAKYAT DALAM PEMILU

MEMAKNAI SUARA RAKYAT DALAM PEMILU
Oleh Muhammad Mustajab. S.Sos

Sepanjang tahun 2008 – 2009, adalah hari-hari yang setiap detiknya suara masyarakat menjadi komoditi yang amat menarik untuk diperebutkan, berpuluh, beratus bahkan berjuta iklan/baleho dan sejenisnya tersebar di setiap sudut dan media massa, dengan berbagai slogan dan nuansa berwarna yang mampu membuat pemandangan baru, yang hanya dapat “dinikmati” pada masa kampanye pemilu/pilkada. Apalagi jumlah parpol meningkat tajam, dimana pada Tahun 2004 hanya 24 parpol, maka pada Tahun 2009 ini 38 parpol berebut simpati rakyat.

Meskipun belum ada lembaga yang menghitung perputaran uang pada event pesta demokrasi atau pesta rakyat Tersebut. Mungkin dapat dikira-kira atau diproyeksikan betapa besar omset dan perputaran uang, dengan tujuan utama menarik simpati rakyat, yang berujung dipilihnya calon-calon terpilih untuk duduk mewakili rakyat pada lembaga terhormat.

Besarnya biaya pesta demokrasi ini, memang tidak tanggung-tanggung, bahkan melebihi nilai APBD sebuah Kabupaten tertentu. contoh dalam Pilkada saja, biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk pilkada gubernur Jawa Timur yang mampu menembus angka fantastis Rp. 800 Milyard, belum lagi biaya-biaya seperti iklan pada media cetak dan elektronik, dan lain-lain, yang harus keluar dalam rangka mendukung pekerjaan besar tersebut, baik dari sisi pengeluaran calon kepala daerah maupun dari sisi pengeluaran pemerintah.

Terdapat 3 (tiga) pertanyaan besar mengiringi fenomena di atas, pertama, betapa mahalnya sebuah proses demokrasi dimaksud, apakah efektivitasnya mampu dipertanggungjawabkan, sehingga suara rakyat yang diperebutkan itu menjadi bermakna secara nyata?, kedua, proses demokrasi yang menggambarkan betapa berharganya suara rakyat tersebut, mampukah menjadi sebuah piranti yang memadai untuk mempertahankan suara rakyat menjadi tetap memiliki harga yang tinggi, setelah berakhirnya pemilu/pilkada? Ketiga, sejauhmanakah calon terpilih mampu mengemban amanah rakyat setara dengan pengorbanan sumber daya dan harapan masyarakat untuk kehidupan yang lebih baik?

Beranjak dari pertanyaan diatas, penulis mencoba menyampaikan hasil analisa sederhana terhadap beberapa fenomena seputar Pemilu Tahun 2009, diantaranya adalah:

Masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang kualitas calon, baik dari aspek kompetensi, kualitas, moralitas maupun kapabilitasnya. Hal ini diperparah dengan hanya dicantumkannya nomor urut dan nama calon tanpa gambar/foto, kecuali calon anggota DPD RI yang mencantumkan foto calon.
Sementara tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat yang sangat bervariasi, sehingga tentunya akan berpengaruh pada kemampuan pemilih dalam memilih dan memilah calon mana yang benar-benar tepat untuk menjadi pilihan. Minimnya informasi tentang calon dan pengetahuan pemilih yang terbatas, kiranya dapat menjadi batu sandungan yang besar dalam menciptakan sebuah hasil pemilu yang berkualitas.

Tata cara penandaan/pencontengan yang memerlukan pengetahuan dan keterampilan yang cukup memadai, contoh saja, banyak parpol dan jumlah calon legislatif yang terpampang dengan huruf-huruf yang relatif kecil dalam lembaran kertas yang lumayan besar tersebut, tentunya memerlukan ketelitian dan kecakapan tertentu untuk menemukan nama yang menjadi pilihan, sementara tentang tata cara pencontengan-pun belum dipahami dengan baik oleh sebagian masyarakat akibat sosialisasi yang belum maksimal, ditengarai akan akan menjadi kendala utama untuk mempersiapkan masyarakat untuk menjadi pemilih yang benar, sehingga dikhawatirkan akan terjadi peningkatan suara yang tidak sah, karena kesalahan penandaan/pencontengan.

Selanjutnya, kendala Potensi golput yang cukup besar, sehingga memerlukan antisipasi berbagai pihak, Fatwa haram MUI yang dikeluarkan dalam menyikapi fenomena golput, kemudian seakan tidak memberikan dampak berarti ditengah masyarakat, karena sebagian masyarakat menganggap penggunaan hak pilih bukan suatu hal yang harus difatwa halal atau haram, tetapi merupakan hak individu yang juga harus dihargai dan dijunjung tinggi, ditambah dengan pendapat yang kontra dari beberapa tokoh, seakan semakin menenggelamkan fatwa haram MUI tersebut.




Sebagai ilustrasi fenomena golput dapat dilihat pada tabel berikut:
Tahun Pelaksanaan Pemilu
Jumlah Golput
1987
8,68%
1992
9,10%
1997
13%
1999
10,21%
2004
23,34%
Sumber: http:www.indomedia.com/sripo/2004/04/05/0504uta2.htm

Fenomena semakin meningkatnya golput, akan mempunyai konsekuensi terhadap tingkat legitimasi pemerintahan. Dalam perspektif teori politik, jika golput melebihi 50% maka derajat legitimasi suatu pemerintahan sangat rendah, dan tidak cukup absah dalam menjalankan roda pemerintahan (Laporan studi lapangan, “Golput mengapa terus Meningkat?”,Tim redaksi Jurnal dialog kebijakan publik, Depkominfo tahun 2008:44).

Orang semakin enggan berpartisipasi dalam pemilu, salah satu sebabnya adalah bahwa mereka merasa tidak cukup melihat adanya tanda-tanda bahwa parpol menunjukkan kinerjanya yang semakin baik. Dari dulu hingga sekarang menurut penilaian konstituen, parpol hanya peduli pada konstituen jika hanya menjelang Pemilu. Setiap kali menjelang pemilu, para elit parpol banyak mengumbar janji manis kepada rakyat, tetapi setelah pemilu janji hanya tinggal janji, tidak pernah ditepati. (Laporan studi lapangan, “Golput mengapa terus Meningkat?”,Tim redaksi Jurnal dialog kebijakan publik, Depkominfo tahun 2008:45).

Pengalaman masyarakat selama ini menegaskan betapa aspirasi masyarakat menjadi seakan terpinggirkan, dan lebih pada mendominasinya kepentingan yang lebih besar yang notabene bukan kepentingan masyarakat banyak tetapi kepentingan-kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan yang juga notabene diperoleh dari suara rakyat yang diperoleh dengan pengorbanan energi yang besar. Parpol yang selama ini diharapkan akan memperjuangkan aspirasi masyarakat, belum dapat secara optimal mengakomodir keinginan dan harapan masyarakat.

Untuk itulah, dalam upaya memaknai suara rakyat dalam pemilu, diperlukan adanya komitmen semua pihak untuk dapat melaksanakan proses demokrasi pemilu secara bertanggung jawab, bukan hanya terfokus pada proses pemilu saja, namun juga terhadap tumbuh kembangnya nilai moral dan tanggung jawab dalam menjalankan dan mengemban amanah masyarakat/pemilih secara optimal.

Beberapa kelemahan dalam proses pemilu, meskipun tidak serta merta dapat dihapus atau dihilangkan, namun diperlukan langkah-langkah konkrit yang berorientasi pada semakin mapannya system pemilu yang dilaksanakan, karenanya terhadap kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan penyelenggaraan pemilu selama ini perlu menjadi pemikiran dan evaluasi bersama, guna terbangunnya solusi memadai terhadap proses pemilu yang efisien sekaligus efektif.

Sebab proses pemilu yang memakan biaya dan energi yang sangat besar tersebut, bila tidak dimaknai dengan sungguh-sungguh, tentunya hanya akan menjadi proses politik yang hanya mampu menghabiskan uang rakyat yang tidak sedikit dan mendudukan orang-orang pada posisi tertentu tetapi tidak dapat menjamin tercapainya tujuan dari pemilu itu sendiri, yaitu terakomodirnya aspirasi masyarakat yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pengalaman penyelenggaraan pemilu dari masa lalu hingga sekarang dengan model dan dinamikanya akan menjadi guru berharga, dalam memaknai suara rakyat dalam proses pemilu, baik dalam tahap perencanaan, penyelenggaraan maupun evaluasi pemilu yang dilaksanakan.

Akhirnya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, pada tanggal 9 April 2009 nanti marilah kita datangi TPS-TPS terdekat, gunakan hak pilih kita dengan sebaik-baiknya sebagai bagian dari penghargaan kita atas pentingnya suara yang kita berikan bagi kelancaran dan semakin kokohnya legitimasi Pemilu 2009, yang Insya Allah akan mampu mengemban amanah rakyat dalam menghantarkan bangsa dan Negara kepada kemajuan dan kemakmuran, yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat, baik lahir maupun bathin. Semoga.

Penulis,
Pemerhati sosial tinggal di Marabahan
Email: vision74_must@yahoo.co.id

PERAN NEGARA DAN HAK KAUM MISKIN

PERAN NEGARA DAN HAK KAUM MISKIN
Oleh Muhammad Mustajab, S.Sos

Akhir-akhir ini kita sering melihat, betapa kaum miskin ditengah kesulitan hidup, tanpa tempat bernaung yang layak, pakaian yang tidak memadai, sanitasi yang terlupakan, bahkan kebutuhan pangan terbilang jauh dari standar kesehatan, serta pendidikan yang terabaikan karena urusan perut.

Belum berakhir penderitaan itu, kepemilikan hak atas tempat tinggal dan tanah yang didiami, terabaikan pula karena pengetahuan yang terbatas sehingga tanah yang puluhan tahun didiami suatu saat akan diambil oleh orang yang mengaku lebih berhak.

Bila kita melihat, cita-cita pendiri bangsa yang dituangkan dalam UUD 1945 pasal 34 yang menyatakan anak-anak miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara, apakah hal ini hanya sebuah impian dan cita-cita? Tentu tidak.
Lihat saja bagaimana para pejuang pendidikan bekerja keras menuntut dipenuhinya amanat UUD 1945 yang menentukan agar APBN harus memuat 20% anggaran pendidikan. Dan insya Allah pada tahun ini akan terwujud.

Bagaimana dengan eksistensi pasal 34 UUD 1945 tadi, siapa yang memperjuangkan? Dan bagaimana sikap pemerintah dalam upaya merealisasikan amanat UUD 1945 yang telah berusia lebih dari 63 Tahun itu.

Untuk itulah, kiranya ajang Pemilu Legislatif dan Pilpres Tahun 2009 ini, dapat menjadi sebuah pendobrak bagi lahirnya kandidat yang memiliki sense of crisis terhadap rendahnya penghargaan kepada kaum miskin yang juga memiliki hak yang sama untuk mengecap dan menikmati kue hasil pembangunan, tidak justru senantiasa menjadi korban dari pembangunan yang dilaksanakan.

Partai dan kandidat mana, yang mempunyai program bagus guna menjamin kesejahteraan rakyat miskin, mengentaskan dari kemiskinan dan mampu membangun akses yang cukup terhadap pemanfaatan sumber daya guna menyokong kehidupan mereka tidak hanya satu generasi, tidak hanya just a moment, atau lips service saat menjaring suara, tapi sebuah penyelesaian yang komprehensif yang menjadikan masyarakat miskin sebagai objek sekaligus subjek dalam pembangunan, yang mampu mengangkat harkat rakyat miskin sehingga mampu meningkatkan taraf hidupnya, tidak hanya mampu melakukan ”penggusuran” tetapi juga mampu memberikan solusi konkrit bagaimana mereka harus meneruskan kehidupan dengan layak dan dapat mencapai cita-cita masa depan, mengapa demikian, karena itulah tugas negara.

Karenanya, negara tidak hanya memerlukan pemimpin dan orang yang memiliki cita-cita tinggi, dan visi kedepan, tetapi juga harus memiliki sense of belonging dan sense of responsibility bahwa setiap jiwa yang menjadi warga negara Indonesia adalah tiap jiwa yang wajib dilindungi, diayomi dan diangkat harkat dan martabatnya. Tidak terkecuali warga miskin.



Namun bolehkan penulis berangan-angan suatu saat kita memiliki negara yang memiliki program yang jelas dan secara nyata dirasakan sebagai berkah bagi warga miskin, tidak ada lagi masyarakat miskin yang hak-haknya terabaikan kecuali dengan solusi yang lebih baik.
Siapa sih yang tidak ingin memiliki kehidupan dan pekerjaan yang layak sebagaimana diamanatkan pada pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yaitu ”Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”

Sekali lagi, disini hanya peran negara yang mampu menjawabnya, karena negara memiliki otoritas atas sumber daya bangsa, kita memiliki Nusantara yang kaya dengan sumber daya alam, kita memiliki putera-puteri terbaik yang memiliki otak-otak cemerlang bagi kemajuan bangsa, kita memiliki kesempatan yakni waktu dan kemerdekaan yang tak ternilai sebagai warisan pendiri bangsa dan pejuang kemerdekaan.

Penulis setuju, bahwa kita harus bangkit bersama-sama, tidak hanya negara dan pemerintah tapi seluruh masyarakat Indonesia, tapi itulah gunanya kita laksanakan Pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat yang mampu memperjuangkan nasib rakyat, karena pada dasarnya masyarakat senantiasa memberikan dukungan bagi pemerintah, dan masyarakat senantiasa berjuang untuk mempertahankan kelangsungan hidup dirinya dan keluarganya sebagai bagian dari dukungan terhadap pemerintah, persoalannya ibarat lokomotif negara merupakan mesin penggerak utama dan rakyat adalah bagian dari gerbong yang mengiringi hingga mencapai tujuan. Sekali lagi, peran negara adalah hak rakyat. Wallahu’alam.

Penulis,
Alumni SMEA Negeri Kotabaru
Tinggal di Marabahan
Email: vision74_must@yahoo.co.id

MEMUTUS RANTAI KEMISKINAN MELALUI PROGRAM PKH

MEMUTUS RANTAI KEMISKINAN MELALUI PROGRAM KELUARGA HARAPAN
Oleh: Muhammad Mustajab, S.Sos

Rendahnya kemampuan ekonomi sebuah keluarga rumah tangga sangat miskin (RTSM) membawa dampak pada buruknya kualitas nutrisi dan gizi, serta menyebabkan banyak anak-anak yang tidak dapat melanjutkan pelajarannya di bangku sekolah. Sebagian diantaranya harus bekerja keras untuk membantu mencari nafkah untuk keluarganya dan ada yang terpaksa menjadi anak jalanan. Semakin besarnya jumlah anak usia sekolah yang tidak mampu memperoleh pendidikan yang layak akan memperburuk kondisi sosial ekonomi dan politik pada masa yang akan datang dan mengakibatkan beban sosial yang sangat tinggi terhadap negara.

Penanggulangan kemiskinan membutuhkan upaya yang terus menerus karena kompleksitas permasalahan dan keterbatasan sumber daya yang dihadapi masyarakat miskin. Untuk itu, penanggulangan langkah-langkah kemiskinan tidak dapat ditangani oleh satu saktor saja, tetapi harus melibatkan multi sektor dan lintas stakeholder terkait. Salah satu sasaran penanggulangan kemiskinan dalam RPJMN 2004-2009 adalah berkurangnya jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan hingga mencapai 8,2 % pada akhir tahun 2009.

Dalam kerangka percepatan penanggulangan kemiskinan dan pengembangan sistem jaminan sosial, mulai Tahun 2007 Pemerintah Indonesia telah melaksanakan Program Keluarga Harapan (PKH) Tujuan umum Program ini adalah untuk meningkatkan jangkauan atau aksesbilitas masyarakat tidak mampu terhadap layanan publik, khususnya pendidikan dan kesehatan.

Untuk jangka pendek, melalui pemberian bantuan uang tunai kepada RTSM, program ini diharapkan dapat mengurangi beban pengeluaran RTSM, sedangkan untuk jangka panjang, melalui kewajiban yang ditentukan diharapkan akan terjadi perubahan pola pikir dan prilaku yang berkaitan dengan aktivitas perbaikan kesehatan dan status gizi serta peningkatan taraf pendidikan RTSM.

Sebagai ilustrasi, kondisi Umum penduduk miskin di Kalimantan Selatan dapat dilihat pada tabel berikut:






TAHUN
JUMLAH PENDUDUK
MISKIN
PERSENTASE
2002
259.800
8,51
2003
258.960
8,16
2004
231.000
7,19
2005
235.700
7,23
2006
278.500
8,32
2007
233.500
7,01
2008
218.900
6,48

Sumber: Bappeda Prop. Kalimantan Selatan

Kalau kita lihat dari tabel di atas, terdapat kecenderungan terjadinya penurunan persentase penduduk miskin, meski terjadi lonjakan pada tahun 2005 dan tahun 2006, karena adanya kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Selanjutnya, kondisi penduduk miskin ini menempatkan Kalimantan Selatan dalam peringkat ke-3 Penduduk miskinnya paling sedikit dan berada dibawah DKI dan Provinsi Bali.
terhadap perbaikan status kesehatan anak-anak dan ibu hamil serta tingkat pendidikan anak-anak RTSM tersebut sehingga rantai kemiskinan keluarga tersebut dapat terputus.

Beberapa keunggulan program PKH, diantaranya yaitu program ini dilengkapi dengan berbagai piranti dan perlengkapan yang memadai, seperti Sistem Pengaduan Masyarakat, pola pendampingan yang tersistem, dan sanksi yang jelas dan tegas bagi peserta PKH yang tidak menjalankan komitmen.

Disamping itu, program yang dilaksanakan dengan penjaringan peserta berdasarkan data Susenas 2005 ini, dalam pelaksanaannya senantiasa dilakukan resertifikasi yaitu evaluasi kepesertaan PKH yang dilaksanakan sebanyak 2 (dua) kali, yakni setiap 3 (tiga) tahun. Dengan demikian, bila berdasarkan hasil resertifikasi peserta PKH dinyatakan tidak lagi memenuhi syarat, maka dapat dikeluarkan dari kepesertaan. Berdasarkan pengalaman pada tahun ketiga sebanyak 15% peserta telah mengalami perubahan ke arah yang lebih baik.

Pelaksanaan PKH hingga tahun 2015 diharapkan dapat menjadi sebuah solusi dalam upaya memutus rantai kemiskinan bagi RTSM, sudah barang tentu kepesertaan PKH, tidak hanya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat penerima PKH saja, tetapi perubahan pola hidup dan perilaku yang menyangkut pendidikan dan perbaikan kesehatan dapat berdampak luas kepada masyarakat di wilayah dilaksanakannya Program PKH.

Peserta PKH akan menerima bantuan selama maksimal 6 tahun. Hal ini berdasar pada pengalaman pelaksanaan program serupa di negara-negara lain yang menunjukan bahwa selama 5-6 tahun peserta dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Untuk itu, setiap 3 tahun akan dilakukan resertifikasi terhadap status kepesertaan. Apabila setelah 6 tahun kondisi RTSM masih berada di bawah garis kemiskinan, maka untuk exit strategy PKH memerlukan koordinasi dengan program lain yang terkait seperti ketenaga kerjaan, perindustrian, perdagangan, pertanian, pemberdayaan masyarakat dan sebagainya.

Persoalannya, sejauhmanakah efektivitas pelaksanaan program PKH di tingkat lapangan, tentu saja berdasarkan pengalaman dan konsep PKH, diyakini PKH mampu memberikan makna signifikan bagi usaha penanggulangan kemiskinan dan memutus rantai kemiskinan.

Slogan PKH, yaitu ”saya boleh miskin, tetapi anak kami tidak boleh miskin” merupakan sebuah bentuk dan upaya serta tekad untuk memberikan sebuah harapan dan masa depan yang lebih baik bagi anak dan keturunan RTSM. Perubahan pola hidup dan perilaku yang menyangkut peningkatan status kesehatan dan peningkatan taraf pendidikan merupakan kunci utama dalam membuka pintu dalam upaya memutus rantai kemiskinan dan mencapai kehidupan yang lebih baik.

Kita berharap Program PKH, yang dilaksanakan di 5 (lima) Kabupaten di Kalimantan Selatan yaitu Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Banjar, Tanah Laut dan Kabupaten Barito Kuala yang meliputi 13.622 RTSM ini (sebelum validasi) atau 6,22 % dari jumlah penduduk miskin seperti tabel di atas, dapat berjalan dengan baik dan optimal, tidak hanya terbatas pada terserapnya dana PKH hingga 100% namun hal yang terlebih penting adalah dipastikannya bahwa peserta PKH akan menjalankan komitmen yang telah disepakati dengan sebaik-baiknya.

Disinilah peran sentral pendamping PKH di tingkat Kecamatan, sebab hanya dengan upaya pendampingan yang baik, kepastian peserta PKH untuk melaksanakan kewajibannya dapat termonitoring dan terlaksana secara tuntas.

Untuk merealisasikan hal ini terdapat kendala yang cukup berarti, yakni terbatasnya ketersediaan tenaga pendamping bagi peserta PKH, karena jumlah pendamping PKH di Kalimantan Selatan yang berjumlah 76 orang dengan pendampingan rata-rata 180 peserta PKH. Hal ini tentunya dalam jangka pendek perlu disikapi oleh pendamping dengan senantiasa melakukan kunjungan dan pendampingan secara intensif kepada setiap RTSM peserta PKH, dan jangka panjang bagi pelaksana Program diharapkan dapat melakukan rekruitmen pendamping baru paling tidak dengan rasio 1 (satu) pendamping 100 org, mengapa demikian karena tugas pendamping sangatlah berat, sehingga disamping memerlukan sebuah komitmen yang kuat dari pendamping, juga harus dilihat kemampuan dan aksesibilitas pendamping dalam melaksanakan tugas pendampingan.

Selanjutnya, dalam menghadapi permasalahan pendataan dan ketidakadilan yang dirasakan sebagian masyarakat, perlu dilakukan langkah-langkah terkoordinasi dan terprogram guna mensosialisasikan PKH secara lebih intensif dan tepat sasaran. Peran aparatur pemerintahan, tokoh masyarakat dan tokoh agama diyakini akan menjadi mediasi yang dapat dijadikan senjata ampuh bagi terbangunnya jiwa kolektif dan kebersamaan masyarakat.

Sekali lagi, peran pendamping dalam melakukan evaluasi terhadap peserta PKH yang layak atau tidak layak menerima PKH akan menjadi pertimbangan penting bagi pihak terkait dan berwenang dalam melakukan penghapusan dan penetapan kepesertaan sebagai anggota PKH.
Akhirnya, kita banyak berharap Program Keluarga Harapan yang diluncurkan sebagai bentuk dan respon terhadap kondisi masyarakat sangat miskin ini, pada saatnya nanti dalam aplikasinya akan benar-benar mampu memutus rantai kemiskinan. Semoga.
Penulis.
Staf Bagian Humas dan Protokol
Setda. Kab. Barito Kuala
Koordinator Jupen PKH Kabuten Barito Kuala
Email: vision74_must@yahoo.co.id

Program Keluarga Harapan, sebuah Harapan yang harus di Perjuangkan

PROGRAM KELUARGA HARAPAN, SEBUAH HARAPAN
YANG HARUS DIPERJUANGKAN
Oleh: Muhammad Mustajab, S.Sos

Program PKH yang dilaunchingnya dilakukan di Kabupaten Banjar pada medio Tahun 2008, merupakan sebuah Program pemberian bantuan tunai bersyarat kepada rumah tangga sangat miskin dengan kewajiban untuk melaksanakan berbagai aktivitas atau kegiatan yang menyangkut pendidikan dan kesehatan.

Sebagai sebuah program penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, program PKH diyakini mampu memberikan makna berarti bagi peningkatan status kesehatan dan gizi keluarga dan peningkatan taraf pendidikan RTSM, hal ini berdasarkan pengalaman dari negara-negara yang telah lebih dulu menerapkan pola pemberian bantuan tunai serupa PKH.

Sudah barang tentu, sebagai sebuah program yang baru, PKH memerlukan upaya pengenalan dan pemasyarakatan yang efektif dan intens, mengingat program PKH sangat memerlukan peran serta masyarakat dan pihak terkait dalam upaya mencapai keberhasilan program.

Sebut saja, beberapa permasalahan krusial yang kerap ditemui, diantaranya yaitu:

1. Sebagian masyarakat belum memahami tentang PKH dan mekanisme nya secara detail dan benar, bahkan terdapat aparatur pemerintahan dan masyarakat yang tidak tahu sama sekali, hal ini terungkap pada saat dilaksanakannya sarasehan baik di tingkat Kabupaten maupun tingkat Kecamatan. Kondisi demikian tentunya amat riskan bagi sebuah program yang memerlukan dukungan dan partisipasi berbagai pihak dan bersifat lintas sektoral. Karenanya pelaksanaan sarasehan dan pola sosialisasi lainnya yang dilaksanakan oelh Depkominfo bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten penerima program diyakini akan memberikan manfaat berarti bagi terosialisasinya program yang dapat memberikan multi effect yang bersifat meluber, yakni informasi yang akan menjangkau secara luas hingga pada masyarakat yang paling kecil aksesnya dalam menerima informasi, misalnya di daerah atau desa yang belum terjangkau media cetak.
2. Peran pendamping masih perlu ditingkatkan, baik dalam mengajak para kepala desa atau tokoh masyarakat setempat untuk mendukung pelaksanaan program PKH, sebab pendamping memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam upaya melakukan pendampingan bagi peserta PKH, serta memastikan apakah peserta PKH dapat menjalankan komitmen atau tidak. Karenanya diperlukan sebuah tekad dan komitmen yang kuat dari para pendamping untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab. Pemilihan pendamping yang berasal dari wilayah yang terkena program merupakan salah satu upaya untuk lebih mengoptimalkan peran pendamping dalam menyukseskan program PKH.
3. Masih terdapat kesalahan pendataan, permasalahan ini mencuat pada saat dilaksanakannya sarasehan ditingkat kecamatan dan diakui oleh pihak pendamping PKH. Karenanya perlu dilakukan pemutakhiran data dan pola kepesertaan yang fleksibel namun tetap mengedepankan kepentingan masyarakat serta menghindari timbulnya gangguan sosial akibat dirasakannya ketidakadilan bagi masyarakat, sekali lagi kegiatan sosialisasi bagi masyarakat luas diyakini akan mampu memberikan pemahaman dan pengertian yang benar, terhadap proses pendataan dan penetapan kepesertaan PKH. Kegiatan sosialisasi ini, tentunya tidak berakhir sampai tersosialisasikannya berbagai aspek berkenaan dengan PKH saja, namun harus pula dibarengi dan dilanjutkan dengan tindakan (action) yang jelas dan terarah, khususnya terhadap perbaikan dan terakomodasinya aspirasi masyarakat yang merasa lebih berhak menjadi peserta PKH namun tidak tersentuh Program PKH.
4. Penyedia layanan (service provider), jajaran kesehatan dan pendidikan masih belum memahami secaara teknis mekanisme PKH, sehingga tidak dapat secara optimal melayani RTSM-PKH. Kondisi ini menggambarkan bahwa Program PKH sebagai program yang menyentuh langsung kepentingan masyarakat kecil pada pelaksanaannya juga terdapat kekurangan, yang tentunya kekurangan ini harus senantiasa diupayakan untuk diperbaiki dan disempurnakan. Pelaksanaan sosialisasi yang hampir dikatakan terlambat, tentunya akan menjadi langkah yang penting dan tepat sasaran manakala dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, terlebih program PKH akan diterapkan hingga tahun 2015 mendatang. Tiada kata terlambat untuk berbuat yang lebih baik, namun sebuah kekurangan dapat menjadi pengalaman yang berharga untuk berbuat yang lebih baik guna mencapai sasaran dan tujuan yang ingin dicapai.
5. Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dipersyaratkan dalam PKH. Perubahan pola hidup dan sikap prilaku masyarakat bukan merupakan hal yang mudah, karenanya pendamping PKH perlu memahami karakter dan sifat RTSM peserta PKH yang menjadi tanggung jawabnya. Kerjasama dengan aparat dan instansi terkait misalnya kepala desa setempat, bidan dan para guru diyakini akan mampu memberikan manfaat bagi peningkatan kesadaran peserta PKH dalam melakanakan kewajibannya.
6. Pendamping jumlahnya terbatas rata-rata 1 pendamping melayani dan mendampingi 200 RTSM. Kondisi demikian tentunya akan menjadi permasalahan tersendiri, khususnya bagi pendamping dalam melaksanakan tugasnya. Kendala rasio pendampingan ini akan menjadi lebih rumit manakala bila kita melihat faktor atau kondisi geografis dan keterbukaan masyarakat RTSM penerima PKH dalam menerima perubahan, terlebih menyangkut perubahan pola hidup dan prilaku yang biasanya akan sangat sulit dilakukan dalam jangka waktu yang relatif singkat.


7. Sosialisasi yang masih terbatas, diyakini merupakan penyebab yang cukup besar dalam mendukung keberhasilan Program PKH. Untuk itulah penulis menyambut gembira atas upaya yang dilakukan oleh Depkominfo RI dalam mengupayakan tersosialisasinya program kepada komponen masyarakat yang lebih luas. Dimana tersosialisasikannya program dengan baik tentunya akan memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap resistensi masyarakat dalam menerima sebuah program baru, bahkan sebalinya dapat mendukung secara optimal sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing.
8. kendala teknis, diantaranya data penyampaian data pada kepala sekolah dan jajaran kesehatan yang hingga saat ini masih belum terealisasi sehingga menyebabkan penyedia layanan tidak mengetahui siapa-siapa peserta PKH. Proses administrasi demikian dirasakan dapat menjadi kendala berarti manakala tidak segera diatasi, sebab berdasarkan data peserta PKH, bagi para bidan dan Kepala sekolah/guru akan menjadi bahan informasi yang penting guna memberikan pelayanan kesehatan dan pendidikan secara gratis dan bermutu.
9. Masih terdapatnya peserta PKH yang tidak memiliki Jamkesmas sehingga mengurangi efektivitas program PKH. Hal ini merupakan kondisi riil yang terjadi di tengah masyarakat. Padahal secara teori maka peserta PKH sudah barang tentu telah mempunyai jamkesmas. Karenanya fasilitasi pendamping sangat diperlukan, disamping dalam meneruskan atau melaporkan kondisi dimaksud, hingga memastikan proses pengusulan peserta PKH untuk memperoleh Jamkesmas pada masa yang akan datang.

Kondisi dan permasalahan di atas, dapat saja menjadi kendala yang cukup dominan manakala tidak dilakukan langkah-langkah penting dan strategis guna mengeliminir dan menghilangkan secara bertahap seiring berjalannya program yang direncanakan hingga tahun 2015.

Karenanya, agar keberhasilan program PKH tidak terhenti hanya pada sebuah harapan semata, maka setiap pihak terkait hendaknya dapat memberikan dukungan dan partisipasi nyata bahkan memperjuangkan secara sungguh-sungguh.

Salah satu upaya, yang dipandang penulis, memiliki manfaat yang cukup besar adalah pola sosialisasi yang dilaksanakan oleh Depkominfo, dengan melibatkan Pemerintah Daerah setempat dalam melaksanakan sosialisasi dengan berbagai aktivitas, yaitu sarasehan, Iklan layanan masyarakat (ILM), Media Visit, Talkshow Dialog interaktif, penulisan artikel dan kegiatan lainnya.

Disamping itu, penggunaan media massa baik cetak dan elektronik, tentunya akan memberikan peluang yang besar bagi masyarakat luas untuk mengakses informasi berkenaan dengan PKH, yang pada gilirannya berdasarkan informasi tersebut masyarakat dapat berperan aktif mendukung Program PKH di wilayahnya masing-masing.


Hal yang krusial dan memerlukan perhatian serius dari pelaksana PKH adala berkaitan dengan peningkatan kesadaran peserta PKH untuk melaksanakan syarat dan kewajiban sebagai peserta PKH, hal ini tentunya juga memerlukan dukungan penuh dari instansi terkati yakni jajaran kesehatan dan pendidikan.

Fasilitasi dan pemberian kemudahan bagi peserta PKH dalam mengakses layanan pendidikan dan kesehatan merupakan sebuah keharusan yang menjadi kewajiban instansi terkait bila kita berkeinginan untuk menyukseskan PKH, sebab jajaran pendidikan dan kesehatan merupakan dua instansi vital yang erat kaitannya dengan peningkatan sumber daya manusia yang menjadi sasaran akhir dari Program PKH.

Penulis.
Staf Bagian Humas dan Protokol
Setda. Kab. Barito Kuala
Koordinator Jupen PKH Kabuten Barito Kuala
Email: vision74_must@yahoo.co.id

Senin, 24 Maret 2008

Foreword and Comment



Selamat datang di Blog saya. Terima kasih anda telah mengunjungi blog ini. Tentunya saya berharap media ini dapat menjadi salah satu bagian dari terciptanya komunikasi dan tukar menukar informasi terhadap hal-hal yang menjadi topik hangat di sekitar kita, sehingga mudah-mudahan dapat memberikan manfaat positif untuk kebaikan kita bersama.

Sekali lagi terima kasih.

My Best Regards,


M. Mustajab

Minggu, 23 Maret 2008

PENDEKATAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Kemiskinan merupakan masalah klasik yang seakan tidak pernah tuntas
di belahan bumi manapun. Kemiskinan terkait erat dengan faktor ekonomis,
yang dinyatakan dalam ukuran tingkat pendapatan (income) atau tingkat
konsumsi individu atau komunitas.

Di Indonesia, kemiskinan diukur dengan tingkat pemenuhan kebutuhan
dasar, yang dinyatakan dalam ukuran kebutuhan hidup minimum atau
kebutuhan kalori, pandangan ini kemudian menjadi patokan bagi upaya pendekatan
pengentasan kemiskinan. Dimana Upaya pengentasan kemiskinan dilakukan
dengan pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi.

Beberapa upaya Pemerintah, dihadapkan pada kendala pertumbuhan
penduduk yang begitu besar sehingga out put upaya pengentasan kemiskinan
menjadi terlihat stagnan..

Pada masa lalu, pendekatan Teori ”trickle down effect ”
diharapkan akan menetes secara merata kepada lapisan masyarakat. Kemudian
Pendekatan lainnya, diarahkan Pemerintah melalui pola bantuan langsung.

Dari uraian sebelumnya, Penulis, tertarik menemukan sisi lain dari
berbagai aspek kondisi masyarakat, yakni terhadap aspek aktivitas
komunikasi dan informasi masyarakat di kaitkan dengan upaya pemberdayaan
masyarakat sebagai pendekatan pengentasan kemiskinan.

Pemeberdayaan masyarakat sendiri, dapat dilakukan terhadap faktor
eksogen dan endogen. Faktor eksogen adalah faktor-faktor yang berasal dari
luar masyarakat, baik berupa kebijakan pemerintah, bantuan biaya,
bantuan tenaga penyuluh dan lain sebagainya. Sedangkan faktor endogen
adalah faktor dari dalam berupa tata nilai, adat kebiasaan, sikap mental
dari masyarakat itu sendiri dan lain sebagainya
.
Berkaitan dengan itu, Mc. Clelland (1997) mengatakan bahwa kemajuan
suatu bangsa sangat ditentukan oleh virus mental “ need for
achievment” (n ach) yang dimiliki bangsa tersebut. Virus mental yang ingin
mencapai sesuatu tersebut dapat dilihat dari bacaan anak-anak usia sampai
10 tahun. Suatu bangsa yang memiliki virus mental “n ach” akan
menjadi bangsa yang kreatif dan inovatif, mengutamakan kualitas serta
disiplin. Sebaliknya bangsa yang rendah virus “n ach” –nya hanya akan
menjadi bangsa pengekor (Sadu Wasistiono, dalam bukunya Kapita Selekta
Manajemen Pemerintah Daerah 2001 : 73).

Selanjutnya, Menurut Koentjaraningrat seperti dikutip Sadu Wasistono
mengatakan bahwa adanya beberapa sikap negatif dari bangsa Indonesia
yaitu:
1. Suka menerabas
2. Tidak memiliki disiplin murni
3. Berorientasi ke atas
4. Mengabaikan mutu.

Beberapa pendapat di atas, terkait erat dengan aktivitas komunikasi
dan informasi masyarakat, sebut saja penularan virus mental N ACH, akan
menjadi terkendala manakala saluran komunikasi dan informasi di tengah
masyarakat mengalami kesenjangan, bahkan yang lebih buruk lagi
mengalami kebuntuan.

Sebagai contoh, di Kabupaten Barito Kuala Propinsi Kalimantan Selatan
terdapat sebuah Desa yang merupakan eks lokasi transmigrasi,
kondisinya lebih maju dari penduduk lokal, hal ini ditandai dengan kondisi rumah
yang cukup bagus dengan konstruksi beton dan dimilikinya kendaraan
baik roda 2, yang rata-rata setiap rumah memiliki 2 buah, serta tingkat
pendidikan anak-anak mereka hingga jejang perguruan tinggi.

Saat berinteraksi dengan salah satu warga, penulis sedikit tertegun,
dikatakannya bahwa ”kami tidak pernah berhenti bekerja, pagi sampai
siang kami bertani, kemudian pulangnya kami mencari rumput untuk pakan
ternak”. Bahkan penulis sempat ditawarkan untuk berinvestasi dalam
bidang peternakan, khususnya penggemukan sapi yang dikelolanya dengan
keuntungan yang lumayan besar dengan uang Rp. 10 Juta misalnya dalam 6
bulan akan mendapat keuntungan sampai dengan 3 juta rupiah.
Hal ini merupakan salah satu gambaran betapa besarnya, motivasi warga
untuk mencapai sesuatu merupakan bentuk telah tervirusinya warga oleh
virus N ACH dimaksud.
Yang lebih membuat penulis terkejut adalah betapa besarnya motivasi
dan semangat mereka untuk mencapai kemajuan, hal ini terlihat dari animo
masyarakat yang sangat besar dalam menerima program pemerintah,
informasi dan teknologi baru.

Permasalahannya adalah bagaimanakah cara agar virus N ACH ini, tidak
hanya terbatas pada warga eks trans tersebut, tetapi juga dapat
menjangkiti seluruh masyarakat di Kabupaten Barito Kuala. Bila ini dapat
tercapai penulis berkeyakinan akan terjadi lompatan besar kemajuan
masyarakat, yang tentunya akan berdampak signifikan terhadap upaya Pemerintah
Daerah dalam mengentaskan kemiskinan dan melepaskan diri dari status
Daerah tertinggal yang didisandang Kabupaten Barito Kuala hingga saat ini.

Kemudian terhadap sikap negatif bangsa Indonesia, mungkin saja
terakumulasi sebagai bangsa terjajah lebih 350 tahun, dimana aktivitas
komunikasi dan informasi masyarakat sangat dibatasi, sehingga masyarakat
terkungkung dalam ketidak tahuan dan keterbatasan informasi yang kemudian
mempengaruhi budaya dan perilakunya.

Untuk itulah, penulis memandang perlu dilakukan upaya pembinaan yang
lebih intensif terhadap aktivitas komunikasi dan informasi masyarakat.
Baik melalui penyediaan infrastuktur yang menjamin akses informasi
masyarakat maupun berupa program-program yang berorientasi pada peningkatan
dan pengembangan informasi masyarakat.
Terlebih dewasa ini, masyarakat dihadapkan pada serbuan derasnya arus
informasi yang apabila tidak disikapi secara tepat dapat saja
informasi yang diterima justru dapat mematikan inovasi dan kreasi masyarakat,
sebut saja tayangan iklan pada Televisi, yang cenderung mendorong
masyarakat menjadi konsumtif.

Sebaliknya bila masyarakat memiliki kemampuan memilih dan memilah
tayangan yang positif, sudah barang tentu akan memberikan nilai positif
pula, misalnya dengan melihat atau menyaksikan program wira usaha dari
televisi, masyarakat kemudian terinspirasi untuk melakukan hal yang
sama, tentunya hal ini akan memeiliki pengaruh yang besar terhadap sisi
kehidupan masyarakat itu sendiri.

Salah satu Program Pemerintah yang penulis pandang relevan adalah
melalui Peningkatan dan Pengembangan Kelompok Informasi masyarakat (KIM),
yang diharapkan dapat menjadi solusi dan wadah bagi lebih
teroganisirnya aktivitas komunikasi dan informasi masyarakat. Dimana KIM adalah
sebuah lembaga layanan informasi publik yang berasal dari, oleh dan untuk
masyarakat.

Apalagi pembentukan KIM hingga pada tingkat akar rumput masyarakat,
diyakini mampu mengemban tugas untuk memberikan informasi yang benar,
tepat, akurat dan bermartabat sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa
Indonesia yang pada gilirannya diharapkan dapat lebih memberdayakan
masyarakat.

Kelompok Informasi Masyarakat (KIM), memiliki tujuan
a. Mewujudkan masyarakat yang mengerti, mengetahui, peduli dan
memahami informasi.
b. Memberdayakan masyarakat agar dapat memilah dan memilih
informasi yang dibutuhkan.
c. Mewujudkan jaringan informasi serta media komunikasi dua
arah antara Pemerintah dan masyarakat maupun dengan pihak lainnya.
d. Menghubungkan satu kelompok masyarakat dengan kelompok yang
lainnya untuk mewujudkan kebersamaan, kesatuan dan persatuan bangsa.

Dengan tujuan demikian, dalam jangka panjang tentunya, pada saatnya
nanti masyarakat diharapkan dapat mengembangkan potensi komunikasi dan
informasi yang dimiliki guna mendukung aktivitas atau usaha ekonomi
masyarakat, sehingga pada gilirannya aktivitas komunikasi dan informasi
yang lebih terbuka, lebih terorganisir dengan jaringan yang luas dan kuat,
dimana kondisi ini diharapkan akan menjadi jaminan bagi tercapainya
tujuan KIM itu sendiri dan yang terpenting mampu lebih memberdayakan
masyarakat sebagai masyarakat informasi yang memiliki kemampuan
mengumpulkan, mengolah, menyebarkan serta memanfaatkan informasi bagi pengembangan
usaha ekonominya yang tentunya akan mendukung upaya pemerintah dalam
mengentaskan kemiskinan, dan memperkuat jati diri sebagai bangsa yang
bermartabat serta pada akhirnya dapat lebih memperkokoh dan memperkuat
Keutuhan NKRI.

APBD, PEGAWAI NEGERI SIPIL DAN PELAYANAN MASYARAKAT

Direktur Urusan Pemerintahan Daerah Ditjen Otonomi Daerah Depdagri Made Suwandi memaparkan Hanya sekitar 30% anggaran pendapatan dan belanja Daerah (APBD) digunakan bagi kepentingan rakyat, sedangkan 70 % terserap oleh gaji belanja pegawai akibat inefisiensi dalam pemerintahan. (Media Indonesia, edisi selasa, 27 Nopember 2007). Menurut Made, hal tersebut terjadi karena urusan yang dikerjakan daerah tanpa melihat kemampuannya.

Mencermati pernyataan di atas, penulis mencoba menyelusuri keterkaitan APBD, keberadaan PNS dan Pelayanan masyarakat.

Sebagaima kita ketahui bersama, APBD merupakan rangkaian kegiatan Pemerintah Daerah berupa program-program dan kegiatan yang akan dilaksanakan dalam tahun berjalan. Prinsipnya adalah semakin besar APBD maka diyakini akan semakin tinggi pula manfaat yang akan diterima oleh masyarakat. Bentuknya dapat saja berupa bantuan langsung maupun manfaat tidak langsung, misalnya saja penyediaan fasilitas umum, penyediaan infrastruktur maupun bentuk-bentuk pelayanan masyarakat lainnya.

Terhadap pernyataan Made dimaksud, menurut hemat penulis intinya adalah perlunya secara cermat dalam merencanakan alokasi anggaran APBD terhadap kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan. Arah dan orientasinya jelas, bahwa yang pertama dan utama adalah untuk kepentingan atau pelayanan masyarakat.

Sebab Pelayanan masyarakat merupakan salah satu tugas yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah, sebagaimana dikemukakan oleh Dimock (Handayaningrat, Pengantar Ilmu Administrasi dan Manajemen, 1996:216) yaitu:

  1. Protection (perlindungan).
  2. Asisteance (bantuan)
  3. Regulation (pengaturan)
  4. Direct service to citizen and to the community (pelayanan langsung kepada penduduk dan kepada masyarakat.

Selanjutnya, Sebagai ilustrasi bagaimana perwujudan pelayanan prima, simaklah apa yang dikemukan oleh Yuli Setyo Indartono. Mahasiswa S3 di Graduate School of Science and Technology, Kobe University, Japan. Peneliti Istecs dan Ketua Teknologi Energi:

Tata ruang kantor khas Jepang: mulai pimpinan hingga staf teknis duduk pada satu ruangan yang sama - tanpa sekat; semua bisa melihat bahwa semuanya bekerja. Satu orang membaca koran, pasti akan ketahuan. Aksi yang bagi saya dramatis ini masih ditambah lagi dengan aksi lari-lari dari pimpinan ataupun staf dalam melayani masyarakat. Ya, mereka berlari dalam arti yang sesungguhnya dan ekspresi pelayanan yang sama seriusnya. Wajah mereka akan menatap anda dalam-dalam dengan pola serius utuh diselingi dengan senyuman. Saya hampir tak percaya dengan perkataan kawan saya yang mempelajari sistem pemerintahan Jepang, bahwa gaji mereka - para “semut” tersebut - tidak bisa dikatakan berlebihan. Sesuai dengan standard upah di Jepang. mereka memiliki kebanggaan berprofesi sebagai abdi negara; kebanggaan yang menutupi penghasilan yang tidak berbeda dengan profesi yang lain”.

Menyimak ilustrasi di atas, dapat kita lihat bagaimana kinerja Pegawai di Jepang yang telah memiliki etos kerja yang demikian tinggi, utamanya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Padahal dari segi penghasilan mereka tidak terlalu berlebihan, namun pelayanan yang mereka berikan merupakan pelayanan terbaik yang dapat mereka lakukan.

Selanjutnya, terhadap kondisi PNS saat ini, tidak salah kiranya bila kita mencermati apa yang dikemukakan Sadu Wasistiono (Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah, 2001:96) mengenai keberadaan sumber daya aparatur pemerintah saat ini, yaitu ” perlu diakui secara jujur bahwa manajemen sumber daya aparatur pemerintahan di Indonesia, selama ini banyak dipengaruhi oleh budaya organisasi militer. Adanya golongan, pangkat, eselonering jabatan, pendidikan perjenjangan, structural dan sebagainya merupakan bukti nyata mengenai hal tersebut. Selama ini system tersebut dianggap tepat karena sesuai dengan pola pemerintahan sentralistik dan represif yang mengutamakan kepatuhan tinggi.

Seiring dengan paradigma pemerintahan yang mengarah pada pemerintahan demokratis yang berazas good governance, diperlukan pembaharuan pada tataran manajemen sumber daya manusia (aparatur pemerintah daerah)”

Kemudian pentingnya keberadaan sumber daya aparatur, ditekankan oleh Joseph Riwukaho (Pusat Kajian dan Diklat Aparatur I LAN, 2001:5),

”Sumber daya manusia merupakan faktor penentu keberhasilan implementasi otonomi daerah. Dalam wacana tentang desentralisasi pun, sumber daya manusia atau personalia merupakan faktor determinan yang harus tersedia dan melekat dalam pelaksanaan kewenangan pemerintahan selain faktor pembiayaan dan prasarana”.

Dalam kaitan itulah, dalam rangka pembaharuan sumber daya manusia dan tindak lanjut otonomi daerah Pemerintah kemudian merubah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999. Meskipun perubahannya tidak secara signifikan mencakup hal-hal yang dikatakan Wasistiono sebagai ”budaya organisasi militer”, terdapat beberapa hal pokok yang diharapkan dapat menjembatani pada penciptaan sumber daya aparatur yang berkualitas. Hal-hal tersebut meliputi:

1. Upaya membentuk profesionalitas aparatur dan tekad penciptaan aparatur yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme melalui upaya meingkatkan manajemen PNS.

2. Penegasan tentang tugas dan kedudukan PNS untuk memberikan pelayanan (dan bukan dilayani) kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata.

3. Netralitas PNS, yang dijamin dengan pelarangan PNS menjadi dan/atau menjadi pengurus politik.

4. Pembentukan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) yang merupakan perangkat Daerah untuk menjamin kelancaran pelaksanaan manajemen PNS di daerah.

Berkaitan dengan beberapa hal tersebut, penulis memandang aspek perencanaan PNS, memegang peranan penting dalam rangka menciptakan PNS yang dapat memberikan nilai tambah (values added) terhadap organisasi dan peningkatan pelayanan masyarakat. Terhadap aspek perencanaan ini, Wasistiono (2001:99-100) mengemukakan langkah-langkah strategis dalam rangka menata dan membangun sumber daya aparatur yang lebih produktif dan kompettif yang meliputi:

1. menginventarisasi kembali sumber daya aparatur yang ada berdasarkan:

- Golongan pangkat.

- Pengalaman kerja

- Masa kerja

- Kompetensi utama yang dimilikinya berdasarkan pendidikan utama dan wilayah pengalaman kerjanya.

2. Menata kembali distribusi pegawai berdasarkan lokasi dan bidang keahlian, yang dilakukan atas dasar kerjasama antara Gubernur dengan Bupati/Walikota.

3. Menyusun pengukuran kinerja PNS secara spesifik berdasarkan penggolongan yaitu mereka yang bekerja pada jenjang karir umum (general path career) serta jenjang karir khusus (spesific path career).

4. Mengisi jabatan melalui seleksi kelayakan (fit and Propert test) yang dilaksanakan oleh lembaga independen.

5. Menghitung kembali secara cermat perkiraan kebutuhan pegawai untuk masa lima tahun mendatang, dilihat dari bidang keahlian dan distribusi lokasinya.

Langkah-langkah diatas, menurut penulis memiliki relevansi yang cukup erat dengan terjaminnya suatu pelayanan yang prima kepada masyarakat. Dengan kata lain, PNS yang merupakan pelaksana utama kegiatan pemerintahan dan pembangunan harus benar-benar dibina dan dikembangkan sehingga dapat menjalankan peran dan fungsi yang diemban dengan sebaik-baiknya, sudah barang tentu, upaya pembinaan PNS baik terhadap kedudukannya sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat maupun peningkatan kesejahteraannya secara proporsional perlu dilaksanakan secara optimal.

Slogan yang dipopulerkan Menpan RI Taufik Effendi ”asal mau bisa” kiranya dapat mengganti slogan pelayanan yang sampai sekarang masih dirasakan masyarakat yaitu”kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah”.

Memang tidak mudah, mengubah budaya PNS yang minta dilayani masyarakat, menjadi pelayan masyarakat. Padahal PNS sebagai pelayan masyarakat merupakan Jiwa dan hakikat dari PNS itu sendiri. Sekali lagi, mungkin hal ini dikarenakan lamanya kita menjadi bangsa terjajah, sehingga mempengaruhi sikap, cara pandang dan budaya yang kita miliki.

Konon pada masa lalu, PNS dikenal sebagai Kaum :Priyayi” yang tentunya memiliki status sosial lebih tinggi dari masyarakat biasa. (dengan cara pandang demikian, bagaimana PNS dapat melayani masyarakat dengan baik)

Mungkin hal inilah menurut hemat penulis, terbawa hingga detik ini. Bagaimana memperbaikinya? Dengan Revitalisasi PNS? Atau melalui penegakan Good Governance? (penulis mengunakan istilah penegakan karena prinsip-prinsip good governance sebenarnya telah menjadi bagian dari kehidupan PNS, persoalannya sejauhmana hal ini dapat terapkan dan ditegakkan?), atau meningkatkan kesejahteraan PNS?. Ya, mungkin saja hal itu dapat dilakukan, tapi yang terpenting adalah bagaimana mengubah cara pandang dan pola pikir (re-mind set) PNS tentang pelayanan masyarakat. Dimana idealnya, pelayanan masyarakat adalah tugas utama dan bukan tugas tambahan. Secara sederhana mungkin dapat dikatakan gaji (salary) PNS, diberikan untuk melayani masyarakat, termasuk peningkatan alokasi untuk belanja Pegawai, agar PNS dapat lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Dengan demikian, sebagai bentuk tanggung jawab dan beban moral terhadap alokasi APBD untuk belanja Pegawai, hendaknya dapat terkompensasi dengan terwujudnya pelayanan yang baik, sebagai pilar utama good governance di setiap lini pemerintahan, yang salah satu aspeknya adalah bebasnya PNS dari Korupsi, kolusi dan Nepotisme dan terjaminnya masyarakat dalam menerima pelayanan prima yang berkualitas, sehingga masyarakat benar-benar merasa terayomi dan terfasilitasi kepentingannya. Karena PNS adalah pelayan masyarakat dan masyarakat siapa pun dan dimana pun berhak mendapatkan pelayanan yang dibutuhkannya secara baik dan berkualitas.