Minggu, 23 Maret 2008

APBD, PEGAWAI NEGERI SIPIL DAN PELAYANAN MASYARAKAT

Direktur Urusan Pemerintahan Daerah Ditjen Otonomi Daerah Depdagri Made Suwandi memaparkan Hanya sekitar 30% anggaran pendapatan dan belanja Daerah (APBD) digunakan bagi kepentingan rakyat, sedangkan 70 % terserap oleh gaji belanja pegawai akibat inefisiensi dalam pemerintahan. (Media Indonesia, edisi selasa, 27 Nopember 2007). Menurut Made, hal tersebut terjadi karena urusan yang dikerjakan daerah tanpa melihat kemampuannya.

Mencermati pernyataan di atas, penulis mencoba menyelusuri keterkaitan APBD, keberadaan PNS dan Pelayanan masyarakat.

Sebagaima kita ketahui bersama, APBD merupakan rangkaian kegiatan Pemerintah Daerah berupa program-program dan kegiatan yang akan dilaksanakan dalam tahun berjalan. Prinsipnya adalah semakin besar APBD maka diyakini akan semakin tinggi pula manfaat yang akan diterima oleh masyarakat. Bentuknya dapat saja berupa bantuan langsung maupun manfaat tidak langsung, misalnya saja penyediaan fasilitas umum, penyediaan infrastruktur maupun bentuk-bentuk pelayanan masyarakat lainnya.

Terhadap pernyataan Made dimaksud, menurut hemat penulis intinya adalah perlunya secara cermat dalam merencanakan alokasi anggaran APBD terhadap kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan. Arah dan orientasinya jelas, bahwa yang pertama dan utama adalah untuk kepentingan atau pelayanan masyarakat.

Sebab Pelayanan masyarakat merupakan salah satu tugas yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah, sebagaimana dikemukakan oleh Dimock (Handayaningrat, Pengantar Ilmu Administrasi dan Manajemen, 1996:216) yaitu:

  1. Protection (perlindungan).
  2. Asisteance (bantuan)
  3. Regulation (pengaturan)
  4. Direct service to citizen and to the community (pelayanan langsung kepada penduduk dan kepada masyarakat.

Selanjutnya, Sebagai ilustrasi bagaimana perwujudan pelayanan prima, simaklah apa yang dikemukan oleh Yuli Setyo Indartono. Mahasiswa S3 di Graduate School of Science and Technology, Kobe University, Japan. Peneliti Istecs dan Ketua Teknologi Energi:

Tata ruang kantor khas Jepang: mulai pimpinan hingga staf teknis duduk pada satu ruangan yang sama - tanpa sekat; semua bisa melihat bahwa semuanya bekerja. Satu orang membaca koran, pasti akan ketahuan. Aksi yang bagi saya dramatis ini masih ditambah lagi dengan aksi lari-lari dari pimpinan ataupun staf dalam melayani masyarakat. Ya, mereka berlari dalam arti yang sesungguhnya dan ekspresi pelayanan yang sama seriusnya. Wajah mereka akan menatap anda dalam-dalam dengan pola serius utuh diselingi dengan senyuman. Saya hampir tak percaya dengan perkataan kawan saya yang mempelajari sistem pemerintahan Jepang, bahwa gaji mereka - para “semut” tersebut - tidak bisa dikatakan berlebihan. Sesuai dengan standard upah di Jepang. mereka memiliki kebanggaan berprofesi sebagai abdi negara; kebanggaan yang menutupi penghasilan yang tidak berbeda dengan profesi yang lain”.

Menyimak ilustrasi di atas, dapat kita lihat bagaimana kinerja Pegawai di Jepang yang telah memiliki etos kerja yang demikian tinggi, utamanya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Padahal dari segi penghasilan mereka tidak terlalu berlebihan, namun pelayanan yang mereka berikan merupakan pelayanan terbaik yang dapat mereka lakukan.

Selanjutnya, terhadap kondisi PNS saat ini, tidak salah kiranya bila kita mencermati apa yang dikemukakan Sadu Wasistiono (Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah, 2001:96) mengenai keberadaan sumber daya aparatur pemerintah saat ini, yaitu ” perlu diakui secara jujur bahwa manajemen sumber daya aparatur pemerintahan di Indonesia, selama ini banyak dipengaruhi oleh budaya organisasi militer. Adanya golongan, pangkat, eselonering jabatan, pendidikan perjenjangan, structural dan sebagainya merupakan bukti nyata mengenai hal tersebut. Selama ini system tersebut dianggap tepat karena sesuai dengan pola pemerintahan sentralistik dan represif yang mengutamakan kepatuhan tinggi.

Seiring dengan paradigma pemerintahan yang mengarah pada pemerintahan demokratis yang berazas good governance, diperlukan pembaharuan pada tataran manajemen sumber daya manusia (aparatur pemerintah daerah)”

Kemudian pentingnya keberadaan sumber daya aparatur, ditekankan oleh Joseph Riwukaho (Pusat Kajian dan Diklat Aparatur I LAN, 2001:5),

”Sumber daya manusia merupakan faktor penentu keberhasilan implementasi otonomi daerah. Dalam wacana tentang desentralisasi pun, sumber daya manusia atau personalia merupakan faktor determinan yang harus tersedia dan melekat dalam pelaksanaan kewenangan pemerintahan selain faktor pembiayaan dan prasarana”.

Dalam kaitan itulah, dalam rangka pembaharuan sumber daya manusia dan tindak lanjut otonomi daerah Pemerintah kemudian merubah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999. Meskipun perubahannya tidak secara signifikan mencakup hal-hal yang dikatakan Wasistiono sebagai ”budaya organisasi militer”, terdapat beberapa hal pokok yang diharapkan dapat menjembatani pada penciptaan sumber daya aparatur yang berkualitas. Hal-hal tersebut meliputi:

1. Upaya membentuk profesionalitas aparatur dan tekad penciptaan aparatur yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme melalui upaya meingkatkan manajemen PNS.

2. Penegasan tentang tugas dan kedudukan PNS untuk memberikan pelayanan (dan bukan dilayani) kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata.

3. Netralitas PNS, yang dijamin dengan pelarangan PNS menjadi dan/atau menjadi pengurus politik.

4. Pembentukan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) yang merupakan perangkat Daerah untuk menjamin kelancaran pelaksanaan manajemen PNS di daerah.

Berkaitan dengan beberapa hal tersebut, penulis memandang aspek perencanaan PNS, memegang peranan penting dalam rangka menciptakan PNS yang dapat memberikan nilai tambah (values added) terhadap organisasi dan peningkatan pelayanan masyarakat. Terhadap aspek perencanaan ini, Wasistiono (2001:99-100) mengemukakan langkah-langkah strategis dalam rangka menata dan membangun sumber daya aparatur yang lebih produktif dan kompettif yang meliputi:

1. menginventarisasi kembali sumber daya aparatur yang ada berdasarkan:

- Golongan pangkat.

- Pengalaman kerja

- Masa kerja

- Kompetensi utama yang dimilikinya berdasarkan pendidikan utama dan wilayah pengalaman kerjanya.

2. Menata kembali distribusi pegawai berdasarkan lokasi dan bidang keahlian, yang dilakukan atas dasar kerjasama antara Gubernur dengan Bupati/Walikota.

3. Menyusun pengukuran kinerja PNS secara spesifik berdasarkan penggolongan yaitu mereka yang bekerja pada jenjang karir umum (general path career) serta jenjang karir khusus (spesific path career).

4. Mengisi jabatan melalui seleksi kelayakan (fit and Propert test) yang dilaksanakan oleh lembaga independen.

5. Menghitung kembali secara cermat perkiraan kebutuhan pegawai untuk masa lima tahun mendatang, dilihat dari bidang keahlian dan distribusi lokasinya.

Langkah-langkah diatas, menurut penulis memiliki relevansi yang cukup erat dengan terjaminnya suatu pelayanan yang prima kepada masyarakat. Dengan kata lain, PNS yang merupakan pelaksana utama kegiatan pemerintahan dan pembangunan harus benar-benar dibina dan dikembangkan sehingga dapat menjalankan peran dan fungsi yang diemban dengan sebaik-baiknya, sudah barang tentu, upaya pembinaan PNS baik terhadap kedudukannya sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat maupun peningkatan kesejahteraannya secara proporsional perlu dilaksanakan secara optimal.

Slogan yang dipopulerkan Menpan RI Taufik Effendi ”asal mau bisa” kiranya dapat mengganti slogan pelayanan yang sampai sekarang masih dirasakan masyarakat yaitu”kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah”.

Memang tidak mudah, mengubah budaya PNS yang minta dilayani masyarakat, menjadi pelayan masyarakat. Padahal PNS sebagai pelayan masyarakat merupakan Jiwa dan hakikat dari PNS itu sendiri. Sekali lagi, mungkin hal ini dikarenakan lamanya kita menjadi bangsa terjajah, sehingga mempengaruhi sikap, cara pandang dan budaya yang kita miliki.

Konon pada masa lalu, PNS dikenal sebagai Kaum :Priyayi” yang tentunya memiliki status sosial lebih tinggi dari masyarakat biasa. (dengan cara pandang demikian, bagaimana PNS dapat melayani masyarakat dengan baik)

Mungkin hal inilah menurut hemat penulis, terbawa hingga detik ini. Bagaimana memperbaikinya? Dengan Revitalisasi PNS? Atau melalui penegakan Good Governance? (penulis mengunakan istilah penegakan karena prinsip-prinsip good governance sebenarnya telah menjadi bagian dari kehidupan PNS, persoalannya sejauhmana hal ini dapat terapkan dan ditegakkan?), atau meningkatkan kesejahteraan PNS?. Ya, mungkin saja hal itu dapat dilakukan, tapi yang terpenting adalah bagaimana mengubah cara pandang dan pola pikir (re-mind set) PNS tentang pelayanan masyarakat. Dimana idealnya, pelayanan masyarakat adalah tugas utama dan bukan tugas tambahan. Secara sederhana mungkin dapat dikatakan gaji (salary) PNS, diberikan untuk melayani masyarakat, termasuk peningkatan alokasi untuk belanja Pegawai, agar PNS dapat lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Dengan demikian, sebagai bentuk tanggung jawab dan beban moral terhadap alokasi APBD untuk belanja Pegawai, hendaknya dapat terkompensasi dengan terwujudnya pelayanan yang baik, sebagai pilar utama good governance di setiap lini pemerintahan, yang salah satu aspeknya adalah bebasnya PNS dari Korupsi, kolusi dan Nepotisme dan terjaminnya masyarakat dalam menerima pelayanan prima yang berkualitas, sehingga masyarakat benar-benar merasa terayomi dan terfasilitasi kepentingannya. Karena PNS adalah pelayan masyarakat dan masyarakat siapa pun dan dimana pun berhak mendapatkan pelayanan yang dibutuhkannya secara baik dan berkualitas.

Tidak ada komentar: