Senin, 24 Maret 2008

Foreword and Comment



Selamat datang di Blog saya. Terima kasih anda telah mengunjungi blog ini. Tentunya saya berharap media ini dapat menjadi salah satu bagian dari terciptanya komunikasi dan tukar menukar informasi terhadap hal-hal yang menjadi topik hangat di sekitar kita, sehingga mudah-mudahan dapat memberikan manfaat positif untuk kebaikan kita bersama.

Sekali lagi terima kasih.

My Best Regards,


M. Mustajab

Minggu, 23 Maret 2008

PENDEKATAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Kemiskinan merupakan masalah klasik yang seakan tidak pernah tuntas
di belahan bumi manapun. Kemiskinan terkait erat dengan faktor ekonomis,
yang dinyatakan dalam ukuran tingkat pendapatan (income) atau tingkat
konsumsi individu atau komunitas.

Di Indonesia, kemiskinan diukur dengan tingkat pemenuhan kebutuhan
dasar, yang dinyatakan dalam ukuran kebutuhan hidup minimum atau
kebutuhan kalori, pandangan ini kemudian menjadi patokan bagi upaya pendekatan
pengentasan kemiskinan. Dimana Upaya pengentasan kemiskinan dilakukan
dengan pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi.

Beberapa upaya Pemerintah, dihadapkan pada kendala pertumbuhan
penduduk yang begitu besar sehingga out put upaya pengentasan kemiskinan
menjadi terlihat stagnan..

Pada masa lalu, pendekatan Teori ”trickle down effect ”
diharapkan akan menetes secara merata kepada lapisan masyarakat. Kemudian
Pendekatan lainnya, diarahkan Pemerintah melalui pola bantuan langsung.

Dari uraian sebelumnya, Penulis, tertarik menemukan sisi lain dari
berbagai aspek kondisi masyarakat, yakni terhadap aspek aktivitas
komunikasi dan informasi masyarakat di kaitkan dengan upaya pemberdayaan
masyarakat sebagai pendekatan pengentasan kemiskinan.

Pemeberdayaan masyarakat sendiri, dapat dilakukan terhadap faktor
eksogen dan endogen. Faktor eksogen adalah faktor-faktor yang berasal dari
luar masyarakat, baik berupa kebijakan pemerintah, bantuan biaya,
bantuan tenaga penyuluh dan lain sebagainya. Sedangkan faktor endogen
adalah faktor dari dalam berupa tata nilai, adat kebiasaan, sikap mental
dari masyarakat itu sendiri dan lain sebagainya
.
Berkaitan dengan itu, Mc. Clelland (1997) mengatakan bahwa kemajuan
suatu bangsa sangat ditentukan oleh virus mental “ need for
achievment” (n ach) yang dimiliki bangsa tersebut. Virus mental yang ingin
mencapai sesuatu tersebut dapat dilihat dari bacaan anak-anak usia sampai
10 tahun. Suatu bangsa yang memiliki virus mental “n ach” akan
menjadi bangsa yang kreatif dan inovatif, mengutamakan kualitas serta
disiplin. Sebaliknya bangsa yang rendah virus “n ach” –nya hanya akan
menjadi bangsa pengekor (Sadu Wasistiono, dalam bukunya Kapita Selekta
Manajemen Pemerintah Daerah 2001 : 73).

Selanjutnya, Menurut Koentjaraningrat seperti dikutip Sadu Wasistono
mengatakan bahwa adanya beberapa sikap negatif dari bangsa Indonesia
yaitu:
1. Suka menerabas
2. Tidak memiliki disiplin murni
3. Berorientasi ke atas
4. Mengabaikan mutu.

Beberapa pendapat di atas, terkait erat dengan aktivitas komunikasi
dan informasi masyarakat, sebut saja penularan virus mental N ACH, akan
menjadi terkendala manakala saluran komunikasi dan informasi di tengah
masyarakat mengalami kesenjangan, bahkan yang lebih buruk lagi
mengalami kebuntuan.

Sebagai contoh, di Kabupaten Barito Kuala Propinsi Kalimantan Selatan
terdapat sebuah Desa yang merupakan eks lokasi transmigrasi,
kondisinya lebih maju dari penduduk lokal, hal ini ditandai dengan kondisi rumah
yang cukup bagus dengan konstruksi beton dan dimilikinya kendaraan
baik roda 2, yang rata-rata setiap rumah memiliki 2 buah, serta tingkat
pendidikan anak-anak mereka hingga jejang perguruan tinggi.

Saat berinteraksi dengan salah satu warga, penulis sedikit tertegun,
dikatakannya bahwa ”kami tidak pernah berhenti bekerja, pagi sampai
siang kami bertani, kemudian pulangnya kami mencari rumput untuk pakan
ternak”. Bahkan penulis sempat ditawarkan untuk berinvestasi dalam
bidang peternakan, khususnya penggemukan sapi yang dikelolanya dengan
keuntungan yang lumayan besar dengan uang Rp. 10 Juta misalnya dalam 6
bulan akan mendapat keuntungan sampai dengan 3 juta rupiah.
Hal ini merupakan salah satu gambaran betapa besarnya, motivasi warga
untuk mencapai sesuatu merupakan bentuk telah tervirusinya warga oleh
virus N ACH dimaksud.
Yang lebih membuat penulis terkejut adalah betapa besarnya motivasi
dan semangat mereka untuk mencapai kemajuan, hal ini terlihat dari animo
masyarakat yang sangat besar dalam menerima program pemerintah,
informasi dan teknologi baru.

Permasalahannya adalah bagaimanakah cara agar virus N ACH ini, tidak
hanya terbatas pada warga eks trans tersebut, tetapi juga dapat
menjangkiti seluruh masyarakat di Kabupaten Barito Kuala. Bila ini dapat
tercapai penulis berkeyakinan akan terjadi lompatan besar kemajuan
masyarakat, yang tentunya akan berdampak signifikan terhadap upaya Pemerintah
Daerah dalam mengentaskan kemiskinan dan melepaskan diri dari status
Daerah tertinggal yang didisandang Kabupaten Barito Kuala hingga saat ini.

Kemudian terhadap sikap negatif bangsa Indonesia, mungkin saja
terakumulasi sebagai bangsa terjajah lebih 350 tahun, dimana aktivitas
komunikasi dan informasi masyarakat sangat dibatasi, sehingga masyarakat
terkungkung dalam ketidak tahuan dan keterbatasan informasi yang kemudian
mempengaruhi budaya dan perilakunya.

Untuk itulah, penulis memandang perlu dilakukan upaya pembinaan yang
lebih intensif terhadap aktivitas komunikasi dan informasi masyarakat.
Baik melalui penyediaan infrastuktur yang menjamin akses informasi
masyarakat maupun berupa program-program yang berorientasi pada peningkatan
dan pengembangan informasi masyarakat.
Terlebih dewasa ini, masyarakat dihadapkan pada serbuan derasnya arus
informasi yang apabila tidak disikapi secara tepat dapat saja
informasi yang diterima justru dapat mematikan inovasi dan kreasi masyarakat,
sebut saja tayangan iklan pada Televisi, yang cenderung mendorong
masyarakat menjadi konsumtif.

Sebaliknya bila masyarakat memiliki kemampuan memilih dan memilah
tayangan yang positif, sudah barang tentu akan memberikan nilai positif
pula, misalnya dengan melihat atau menyaksikan program wira usaha dari
televisi, masyarakat kemudian terinspirasi untuk melakukan hal yang
sama, tentunya hal ini akan memeiliki pengaruh yang besar terhadap sisi
kehidupan masyarakat itu sendiri.

Salah satu Program Pemerintah yang penulis pandang relevan adalah
melalui Peningkatan dan Pengembangan Kelompok Informasi masyarakat (KIM),
yang diharapkan dapat menjadi solusi dan wadah bagi lebih
teroganisirnya aktivitas komunikasi dan informasi masyarakat. Dimana KIM adalah
sebuah lembaga layanan informasi publik yang berasal dari, oleh dan untuk
masyarakat.

Apalagi pembentukan KIM hingga pada tingkat akar rumput masyarakat,
diyakini mampu mengemban tugas untuk memberikan informasi yang benar,
tepat, akurat dan bermartabat sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa
Indonesia yang pada gilirannya diharapkan dapat lebih memberdayakan
masyarakat.

Kelompok Informasi Masyarakat (KIM), memiliki tujuan
a. Mewujudkan masyarakat yang mengerti, mengetahui, peduli dan
memahami informasi.
b. Memberdayakan masyarakat agar dapat memilah dan memilih
informasi yang dibutuhkan.
c. Mewujudkan jaringan informasi serta media komunikasi dua
arah antara Pemerintah dan masyarakat maupun dengan pihak lainnya.
d. Menghubungkan satu kelompok masyarakat dengan kelompok yang
lainnya untuk mewujudkan kebersamaan, kesatuan dan persatuan bangsa.

Dengan tujuan demikian, dalam jangka panjang tentunya, pada saatnya
nanti masyarakat diharapkan dapat mengembangkan potensi komunikasi dan
informasi yang dimiliki guna mendukung aktivitas atau usaha ekonomi
masyarakat, sehingga pada gilirannya aktivitas komunikasi dan informasi
yang lebih terbuka, lebih terorganisir dengan jaringan yang luas dan kuat,
dimana kondisi ini diharapkan akan menjadi jaminan bagi tercapainya
tujuan KIM itu sendiri dan yang terpenting mampu lebih memberdayakan
masyarakat sebagai masyarakat informasi yang memiliki kemampuan
mengumpulkan, mengolah, menyebarkan serta memanfaatkan informasi bagi pengembangan
usaha ekonominya yang tentunya akan mendukung upaya pemerintah dalam
mengentaskan kemiskinan, dan memperkuat jati diri sebagai bangsa yang
bermartabat serta pada akhirnya dapat lebih memperkokoh dan memperkuat
Keutuhan NKRI.

APBD, PEGAWAI NEGERI SIPIL DAN PELAYANAN MASYARAKAT

Direktur Urusan Pemerintahan Daerah Ditjen Otonomi Daerah Depdagri Made Suwandi memaparkan Hanya sekitar 30% anggaran pendapatan dan belanja Daerah (APBD) digunakan bagi kepentingan rakyat, sedangkan 70 % terserap oleh gaji belanja pegawai akibat inefisiensi dalam pemerintahan. (Media Indonesia, edisi selasa, 27 Nopember 2007). Menurut Made, hal tersebut terjadi karena urusan yang dikerjakan daerah tanpa melihat kemampuannya.

Mencermati pernyataan di atas, penulis mencoba menyelusuri keterkaitan APBD, keberadaan PNS dan Pelayanan masyarakat.

Sebagaima kita ketahui bersama, APBD merupakan rangkaian kegiatan Pemerintah Daerah berupa program-program dan kegiatan yang akan dilaksanakan dalam tahun berjalan. Prinsipnya adalah semakin besar APBD maka diyakini akan semakin tinggi pula manfaat yang akan diterima oleh masyarakat. Bentuknya dapat saja berupa bantuan langsung maupun manfaat tidak langsung, misalnya saja penyediaan fasilitas umum, penyediaan infrastruktur maupun bentuk-bentuk pelayanan masyarakat lainnya.

Terhadap pernyataan Made dimaksud, menurut hemat penulis intinya adalah perlunya secara cermat dalam merencanakan alokasi anggaran APBD terhadap kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan. Arah dan orientasinya jelas, bahwa yang pertama dan utama adalah untuk kepentingan atau pelayanan masyarakat.

Sebab Pelayanan masyarakat merupakan salah satu tugas yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah, sebagaimana dikemukakan oleh Dimock (Handayaningrat, Pengantar Ilmu Administrasi dan Manajemen, 1996:216) yaitu:

  1. Protection (perlindungan).
  2. Asisteance (bantuan)
  3. Regulation (pengaturan)
  4. Direct service to citizen and to the community (pelayanan langsung kepada penduduk dan kepada masyarakat.

Selanjutnya, Sebagai ilustrasi bagaimana perwujudan pelayanan prima, simaklah apa yang dikemukan oleh Yuli Setyo Indartono. Mahasiswa S3 di Graduate School of Science and Technology, Kobe University, Japan. Peneliti Istecs dan Ketua Teknologi Energi:

Tata ruang kantor khas Jepang: mulai pimpinan hingga staf teknis duduk pada satu ruangan yang sama - tanpa sekat; semua bisa melihat bahwa semuanya bekerja. Satu orang membaca koran, pasti akan ketahuan. Aksi yang bagi saya dramatis ini masih ditambah lagi dengan aksi lari-lari dari pimpinan ataupun staf dalam melayani masyarakat. Ya, mereka berlari dalam arti yang sesungguhnya dan ekspresi pelayanan yang sama seriusnya. Wajah mereka akan menatap anda dalam-dalam dengan pola serius utuh diselingi dengan senyuman. Saya hampir tak percaya dengan perkataan kawan saya yang mempelajari sistem pemerintahan Jepang, bahwa gaji mereka - para “semut” tersebut - tidak bisa dikatakan berlebihan. Sesuai dengan standard upah di Jepang. mereka memiliki kebanggaan berprofesi sebagai abdi negara; kebanggaan yang menutupi penghasilan yang tidak berbeda dengan profesi yang lain”.

Menyimak ilustrasi di atas, dapat kita lihat bagaimana kinerja Pegawai di Jepang yang telah memiliki etos kerja yang demikian tinggi, utamanya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Padahal dari segi penghasilan mereka tidak terlalu berlebihan, namun pelayanan yang mereka berikan merupakan pelayanan terbaik yang dapat mereka lakukan.

Selanjutnya, terhadap kondisi PNS saat ini, tidak salah kiranya bila kita mencermati apa yang dikemukakan Sadu Wasistiono (Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah, 2001:96) mengenai keberadaan sumber daya aparatur pemerintah saat ini, yaitu ” perlu diakui secara jujur bahwa manajemen sumber daya aparatur pemerintahan di Indonesia, selama ini banyak dipengaruhi oleh budaya organisasi militer. Adanya golongan, pangkat, eselonering jabatan, pendidikan perjenjangan, structural dan sebagainya merupakan bukti nyata mengenai hal tersebut. Selama ini system tersebut dianggap tepat karena sesuai dengan pola pemerintahan sentralistik dan represif yang mengutamakan kepatuhan tinggi.

Seiring dengan paradigma pemerintahan yang mengarah pada pemerintahan demokratis yang berazas good governance, diperlukan pembaharuan pada tataran manajemen sumber daya manusia (aparatur pemerintah daerah)”

Kemudian pentingnya keberadaan sumber daya aparatur, ditekankan oleh Joseph Riwukaho (Pusat Kajian dan Diklat Aparatur I LAN, 2001:5),

”Sumber daya manusia merupakan faktor penentu keberhasilan implementasi otonomi daerah. Dalam wacana tentang desentralisasi pun, sumber daya manusia atau personalia merupakan faktor determinan yang harus tersedia dan melekat dalam pelaksanaan kewenangan pemerintahan selain faktor pembiayaan dan prasarana”.

Dalam kaitan itulah, dalam rangka pembaharuan sumber daya manusia dan tindak lanjut otonomi daerah Pemerintah kemudian merubah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999. Meskipun perubahannya tidak secara signifikan mencakup hal-hal yang dikatakan Wasistiono sebagai ”budaya organisasi militer”, terdapat beberapa hal pokok yang diharapkan dapat menjembatani pada penciptaan sumber daya aparatur yang berkualitas. Hal-hal tersebut meliputi:

1. Upaya membentuk profesionalitas aparatur dan tekad penciptaan aparatur yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme melalui upaya meingkatkan manajemen PNS.

2. Penegasan tentang tugas dan kedudukan PNS untuk memberikan pelayanan (dan bukan dilayani) kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata.

3. Netralitas PNS, yang dijamin dengan pelarangan PNS menjadi dan/atau menjadi pengurus politik.

4. Pembentukan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) yang merupakan perangkat Daerah untuk menjamin kelancaran pelaksanaan manajemen PNS di daerah.

Berkaitan dengan beberapa hal tersebut, penulis memandang aspek perencanaan PNS, memegang peranan penting dalam rangka menciptakan PNS yang dapat memberikan nilai tambah (values added) terhadap organisasi dan peningkatan pelayanan masyarakat. Terhadap aspek perencanaan ini, Wasistiono (2001:99-100) mengemukakan langkah-langkah strategis dalam rangka menata dan membangun sumber daya aparatur yang lebih produktif dan kompettif yang meliputi:

1. menginventarisasi kembali sumber daya aparatur yang ada berdasarkan:

- Golongan pangkat.

- Pengalaman kerja

- Masa kerja

- Kompetensi utama yang dimilikinya berdasarkan pendidikan utama dan wilayah pengalaman kerjanya.

2. Menata kembali distribusi pegawai berdasarkan lokasi dan bidang keahlian, yang dilakukan atas dasar kerjasama antara Gubernur dengan Bupati/Walikota.

3. Menyusun pengukuran kinerja PNS secara spesifik berdasarkan penggolongan yaitu mereka yang bekerja pada jenjang karir umum (general path career) serta jenjang karir khusus (spesific path career).

4. Mengisi jabatan melalui seleksi kelayakan (fit and Propert test) yang dilaksanakan oleh lembaga independen.

5. Menghitung kembali secara cermat perkiraan kebutuhan pegawai untuk masa lima tahun mendatang, dilihat dari bidang keahlian dan distribusi lokasinya.

Langkah-langkah diatas, menurut penulis memiliki relevansi yang cukup erat dengan terjaminnya suatu pelayanan yang prima kepada masyarakat. Dengan kata lain, PNS yang merupakan pelaksana utama kegiatan pemerintahan dan pembangunan harus benar-benar dibina dan dikembangkan sehingga dapat menjalankan peran dan fungsi yang diemban dengan sebaik-baiknya, sudah barang tentu, upaya pembinaan PNS baik terhadap kedudukannya sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat maupun peningkatan kesejahteraannya secara proporsional perlu dilaksanakan secara optimal.

Slogan yang dipopulerkan Menpan RI Taufik Effendi ”asal mau bisa” kiranya dapat mengganti slogan pelayanan yang sampai sekarang masih dirasakan masyarakat yaitu”kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah”.

Memang tidak mudah, mengubah budaya PNS yang minta dilayani masyarakat, menjadi pelayan masyarakat. Padahal PNS sebagai pelayan masyarakat merupakan Jiwa dan hakikat dari PNS itu sendiri. Sekali lagi, mungkin hal ini dikarenakan lamanya kita menjadi bangsa terjajah, sehingga mempengaruhi sikap, cara pandang dan budaya yang kita miliki.

Konon pada masa lalu, PNS dikenal sebagai Kaum :Priyayi” yang tentunya memiliki status sosial lebih tinggi dari masyarakat biasa. (dengan cara pandang demikian, bagaimana PNS dapat melayani masyarakat dengan baik)

Mungkin hal inilah menurut hemat penulis, terbawa hingga detik ini. Bagaimana memperbaikinya? Dengan Revitalisasi PNS? Atau melalui penegakan Good Governance? (penulis mengunakan istilah penegakan karena prinsip-prinsip good governance sebenarnya telah menjadi bagian dari kehidupan PNS, persoalannya sejauhmana hal ini dapat terapkan dan ditegakkan?), atau meningkatkan kesejahteraan PNS?. Ya, mungkin saja hal itu dapat dilakukan, tapi yang terpenting adalah bagaimana mengubah cara pandang dan pola pikir (re-mind set) PNS tentang pelayanan masyarakat. Dimana idealnya, pelayanan masyarakat adalah tugas utama dan bukan tugas tambahan. Secara sederhana mungkin dapat dikatakan gaji (salary) PNS, diberikan untuk melayani masyarakat, termasuk peningkatan alokasi untuk belanja Pegawai, agar PNS dapat lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Dengan demikian, sebagai bentuk tanggung jawab dan beban moral terhadap alokasi APBD untuk belanja Pegawai, hendaknya dapat terkompensasi dengan terwujudnya pelayanan yang baik, sebagai pilar utama good governance di setiap lini pemerintahan, yang salah satu aspeknya adalah bebasnya PNS dari Korupsi, kolusi dan Nepotisme dan terjaminnya masyarakat dalam menerima pelayanan prima yang berkualitas, sehingga masyarakat benar-benar merasa terayomi dan terfasilitasi kepentingannya. Karena PNS adalah pelayan masyarakat dan masyarakat siapa pun dan dimana pun berhak mendapatkan pelayanan yang dibutuhkannya secara baik dan berkualitas.

Rabu, 19 Maret 2008

PILKADA DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

PILKADA DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Belakangan ini kita diramaikan dengan gegap gempitanya aktivitas para insan-insan politik dan masyarakat dalam menyongsong pesta demokrasi “PILKADA” yang melibatkan hampir seluruh masyarakat serta dana yang tidak sedikit yang nota bene juga berasal dari masyarakat.

Sementara, tidak dapat dipungkiri pula masih ada sebagian masyarakat berpendapat bahwa pilkada hanyalah merupakan kegiatan politik yang tidak terlalu penting untuk diikuti, hal ini tergambar dari belum optimalnya partisipasi masyarakat dalam pilkada.

Pada sisi lain, Pemerintah dan partai politik berharap agar sebanyak mungkin masyarakat dapat memberikan andilnya, sebab semakin banyak masyarakat yang terlibat, disamping diyakini semakin kuat pula aspek legalitas dan legitimasi seorang kepala daerah dan wakil kepala daerah, juga merupakan salah satu indikator bagi suksesnya penyelengaraan pilkada itu sendiri.

Permasalahannya, sampai sejauh manakah peran sebuah ”pilkada” dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat?

Sudah barang tentu pilkada memiliki peran yang sangat vital bagi jalannya suatu Pemerintahan Daerah. Namun demikian permasalahan utama yang kiranya perlu menjadi perhatian kita bersama adalah manfaat dari ending dari pilkada bagi masyarakat luas.

Terlebih bila kita menyadari bahwa pilkada hanyalah sebuah proses politik yang merupakan sebuah upaya dalam menjaring dan mendudukan orang-orang pilihan rakyat, dan bukan memilih kompetensi seseorang? (pertanyaan ini muncul seketika manakala kita menyaksikan perdebatan para elite politik di tingkat pusat yang menyoal persyaratan pendidikan minimal bagi calon presiden).

Suatu hal yang lumrah sepanjang masih berada dalam koridor hukum dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika, dalam sebuah kancah perpolitikan terjadi upaya memperlambat, mempersulit bahkan menghentikan langkah lawan politik dengan menggunakan berbagai intrik dan strategi tertentu..

Tetapi pilkada, tetaplah pilkada yang sebenarnya hanyalah sebuah bagian dari proses politik, apalagi bila kita ”terbangun” dari indahnya mimpi dan ambisi sekedar mewujudkan kepentingan dan kekuasaan belaka, kemudian tersadar bahwa salah satu tujuan utama Pemerintah Negara Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum atau kesejahteraan seluruh masyarakat, sebagaimana yang diamanatkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Karl W Deutsh dalam bukunya the Nerves of Government: Models of Political Communication and Control (1963) ”politics is concerned with the attainment of social good; it is the sphere in which decision are made with respect to the whole society-decisions which are forceable. (politik berkenaan dengan pencapaian tujuan masyarakat, bidang tugasnya ialah keputusan yang menyangkut kepentingan seluruh masyarakat dan bersifat dapat dipaksakan).

Dengan demikian, tugas dan kewajiban mewujudkan kesejahteraan masyarakat merupakan domain pemerintah yang secara defacto dan legal formal menguasai sumber daya dan potensi masyarakat.

Peran penting inilah yang nantinya diharapkan dapat dijalankan secara optimal oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih.

Pada dasarnya pilkada merupakan peluang sekaligus tantangan bagi pemerintah daerah dan masyarakat, utamanya untuk memilih secara langsung dan mendudukan orang-orang pilihan yang dianggap rakyat mampu memimpin daerah ke arah yang lebih baik dan sejahtera ( sejahtera merupakan barang langka yang hingga kini bagi sebagian rakyat masih menjadi ”mimpi-mimpi malam” sejak pahlawan-pahlawan kesuma bangsa menitipkan bangsa ini pada 62 tahun silam).

Namun demikian, sekali lagi kiranya perlu untuk diingat bagi semua pihak, bahwa pilkada hanyalah bagian dari sebuah proses politik dan bukan tujuan akhir.

Hal terpenting yang dapat dilakukan oleh masyarakat adalah bagaimana secara bersama-sama dapat senantiasa menjaga dan memelihara persatuan dan kesatuan serta menyatukan potensi dan kekuatan untuk mencapai tujuan bersama, janganlah masyarakat terpecah belah hanya karena sebuah proses politik yang disebut “Pilkada”.

Siapapun kita, dimanapun kita dan sekecil apapun peran kita, marilah bersatu padu guna menuju, meraih dan mencapai apa yang dicita-citakan para founding fathers pendahulu kita.

Menutup tulisan ini, kiranya patut pula untuk disadari, bahwa masyarakat dengan segala keterbatasan dan kesulitan hidup, ditengah himpitan ekonomi dan deraan persoalan-persoalan hidup, telah dengan suka rela, tulus, dan ikhlas memberikan harta berharga satu-satunya yang dimiliki, yakni hak pilih mereka untuk diserahkan secara totalitas bagi orang-orang yang dianggap mereka pantas dan layak, dengan menitip ”sebuah harapan” orang-orang yang mereka pilih, mampu memimpin dan membawa mereka pada kehidupan yang lebih baik.

Akhirnya, kita semua berharap pesta demokrasi pilkada yang pada Tahun 2007 ini akan berlangsung di beberapa kabupaten di kalimantan selatan dapat berjalan dengan aman, sukses, lancar dan damai serta dapat melahirkan pemimpin-pemimpin daerah yang ”Sadar dan Amanah” terhadap kewajiban tugas utama yang diemban yaitu mewujudkan kesejahteraan seluruh masyarakat. Semoga.